Berawal dari sebuah pesan pendek yang kuterima dari Tita "Aslm.tmn2 geodeta,ada diklat jurnalistik tgl 3-6 feb @KPTU,.....". Dia adalah seorang perempuan bejilbab dengan prinsipnya yang kuat dan hati yang tak bisa dikatakan sebagai hati biasa. Sikap Kepeduliannya terhadap apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya dan keahlianya dalam berbagai bidang memungkinkan seseorang aku untuk mengaguminya. Siapa sangka juga perempuan asli Lampung ini sangat piawai menggerakkan jari-jemarinya dalam alunan piano, tak jarang juga menggerakkan tangannya untuk menggesek sebuah biola dalam sebuah orkestra. Memberikan sekelumit info untuk para anggotanya tak pernah dilupakan oleh perempuan yang pernah berkomitmen akan keluar dari anggota GEODETA jika sandangan ketua tidak dijabatnya. Bagi orang awam, mungkin komitmen tersebut seperti keegoisan diri. Tapi dibalik keegoisan diri itu, ada sesuatu yang ingin diwujudkan. Perubahan diri dari GEODETA untuk menjadi tempat pembelajaran jurnalistik di Teknik Geodesi UGM dengan benar. Memang, dari awal aku bergabung menjadi anggota tidak banyak hal yang aku dapatkan, desain, layout, fotografi, hanya itu sedikit yang aku bisa. Seharusnya aku juga tahu cara menulis dengan ejaan yang benar, menarik, dan informatif. Tetapi aku tak mendapatkannya.
Setelah aku menerima dan mebaca pesan pendek tersebut, sedikit rasa hati ini berbungah. Kesempatan langka dapat berlatih langsung menjadi seorang jurnalis, mewawancarai, menulis, praktek peliputan, penataan layout, dan hal-hal lain yang menyangkut kegiatan kejurnalistikan. Berharap sikap 'nervouse'ku dapat hilang saat setiap kali melakukan pembicaraan dengan orang lain yang kuanggap lebih dari aku. Langsung dengan semangat jari-jemariku membalas pesan tersebut dan bersedia mengikuti kegiatan jurnalistik yang memerlukan biaya pendaftaran sebanding dengan biaya pergi pulang Nganjuk-Jogja menggunakan bus patas. 'Free cost' untuk anngota GEODETA juga menjadi salah satu daya tarikku.
Malam ini, aku mempersiapkan segala sesuatu yang akan kubawa esok pagi, kaos, baju, celana panjang, pakaian dalam sudah tertata rapi didalam tas punggungku. Tak lupa juga sebuah sandal yang baru saja kubeli saat berlibur ke Surabaya. Semakin lama, akupun mulai terlelap dalam indahnya bunga tidur yang mendampingi lelapku.
Lama setelah itu, suara adzan shubuh nan merdu dikumandangkan mengusik telingaku seolah mengajak aku segera menjalankan panggilan suci itu. Matahari mulai sedikit menampakkan sosoknya, seperti biasa segelas susu coklat hangat selalu ada di meja dapur. Tak ada lelahnya ibu menyiapkan segala kebutuhan demi anaknya, begadangpun sering dilakoni hanya untuk anaknya tercinta. Sedikit teringat lirik lagu Iwan Fals "...ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang demi aku anakmu...." mungkin seperti itulah gambaran perjuangan seorang ibu.
Rentan beberapa menit mempersiapkan diri dan beres-beres, aku sudah siap meninggalkan kota angin ini. Sebelumnya bapak memberikan sedikit uang saku untuk kebutuhanku, langsung saja aku memasukan uang itu dalam sakuku. Tidak cukup banyak, hanya beberapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan. Setelah itu aku mulai berjalan kearah ibuku, kuraih tangannya lalu kucium sambil berpamitan. Bapak sudah menghidupkan vespa kesayangannya, konon vespa itu kendaraan kenangan masa mudanya bersama ibu. Tak pernah terpikir dalam pikiran bapak untuk menjualnya, walaupun garasi telah penuh dengan roda dua. Dengan santainya bapak mengendarai kendaraan kesayanganya menuju tempat pemberhentian bus. Pagi ini benar-benar sejuk, diperjalanan berlalu lalang anak berseragam dengan semangatnya mengayuh sepeda. Sepuluh menit kemudian kami sampai pada pemberhentian bus. Dalam beberapa menit nampak sebuah bus dari kejauhan dengan tulisan khasnya CEPAT AC. Mungkin maksud dari tulisan itu menandakan bahwa bus tersebut berjalan cepat dan didalamnya menggunakan AC.
Seperti halnya yang kulakukan pada ibu, aku juga meraih tangan bapak sambil berpamitan. Bus itu semakin dekat, kulambaikan tanganku untuk menghentikan laju kencangnya. Sudah kukira, bus ini selalu berhenti melebihi tempat aku berdiri. Dengan sedikit kesal aku berlari menuju pintu yang telah dibuka oleh kenek bus. Sambil menoleh kearah bapak perlahan aku masuk kedalam bus. Nampak sepi rupanya, akupun mecari tempat duduk di bagian tengah. Tak tahu kenapa aku merasa aman saja bila duduk di tengah. Memang tidak bisa dilogika duduk ditengah selalu aman, tapi itu naluriku.
Tak lama kemudian kenek itu menghampiriku sambil membawa segelas air mineral. Dengan sedikit senyuman kemudian si kenek memberikan air mineralnya sambil bertanya "mau pergi kemana mas??". Dengan sedikit senyuman pula aku menjawab "Jogja pak!", selanjutnya ia membalas "44 ribu mas.." aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan kemudian memberikannya. Kenek itu memberikan kembalian uang dengan dua karcis, satu berwarna hijau untuk karcis perjalanan dan satu lagi karcis berwarna merah untuk ditukarkan dengan makan saat berhenti di rumah makan nantinya.
Perjalanan selama lima jam membuatku jenuh didalamnya, tak sadar aku sesering memejakan mata. Mataku mulai sayup-sayup, perlahan akhirnya aku memejamkan mata. Mungkin sekitar kurang lebih satu jam aku tidur, sedikit membuka mata aku menoleh kearah jendela dan berusaha mengenali daerah setempat. Karena tak mengenali daerah ini, mataku mulai melirik alamat-alamat yang biasa ditulis dibawah nama toko yang ada di sepanjang jalan. Dengan begini aku pasti tahu daerah ini daerah mana. Setelah menemukan jawabannya, ternyata baru sampai daerah Ngawi. Karena rumah makan tempat bus ini berhenti ada di daerah Ngawi aku tak lagi memejamkan mata. Tak lama kemudian bus itu berhenti disebuah rumah makan, Rumah Makan Duta namanya.
Dalam rumah makan ini tertata rapi beberapa kursi dan meja lengkap dengan nomor diatasnya. Meja dengan nomor 30 menjadi pilihanku, karena letaknya yang berhadapan dengan televisi. Seseorang dengan pakaian yang cukup rapi menghampiriku, tak banyak bicara aku memberikan karcis berwarna merah dengan tulisan menu di karcisnya sambil mengucapkan "rawon mas..". Dari beberapa menu yang tertulis rawon selalu menjadi pilihanku, semangkuk nasi dengan kuah agak hitam bercampur potongan daging sapi didalamnya. Dengan cepat aku segera menuntaskan makanku dan langsung kembali ke dalam bus. Cukup kenyang perutku, begitu juga dengan penumpang lainnya setelah kenyang pastilah mereka tertidur satu persatu, tak juga aku.
Tertidur, terbangun, tertidur lagi, terbangun lagi, dan seterusnya dan seterusnya. Tak lama kemudian akhirnya tiba juga di Jogja, sebuah kota yang penuh akan nilai seninya, cocok untuk seorang aku yang tak bisa jauh dari kehidupan seni. Dibawah jembatan layang Janti bus ini berhenti. Kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju kos menggunakan angkutan kota dengan plat nomor 7. Sebuah angkutan yang akan dihilangkan keberadaannya dan digantikan dengan Transjogja, bus kota yang terstruktur dan lebih tertata seperti halnya di kota-kota besar. Selama kurang lebih lima belas menit nomor 7 ini sampai di bundaran Fakultas Teknik UGM tempat berhenti biasanya. Selanjutnya aku berjalan kaki sejauh 500 meter menuju tempat kosku, sampailah aku digubuk kecilku.
No comments:
Post a Comment